Release KPPR Pada International Women Day

KPPR Melawan Militerisme

Komite Persatuan Perjuangan International Women Day 
(KPP IWD : SGBN, FPBI, FSPASI, GSPB, SBMI, SBTPI, FBLP, PPI, KPO-PRP, PPR, FrontJak, Perempuan Mahardhika, SMI, Pembebasan, LMND, LBH Jakarta) 

Perempuan Rakyat Menuntut : Kesetaraan dan Kesejahteraan !!!

Krisis perempuan Indonesia saat ini diciptakan oleh rezim neoliberal yang menata dunia melalui peraturan-peraturan (regulasi) untuk kepentingan perdagangan-investasi-pasar tenaga kerja secara bebas, dalam bentuk pemberlakuan labour market flexibility, penghapusan subsidi untuk kelangsungan hajat hidup masyarakat yang selama ini ditanggung kaum pekerja dan perempuan, privatisasi sektor yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, dan peningkatan devisa negara melalui perdagangan buruh migran. Akhir Desember 2015, kita akan segera berhadapan dengan era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), atau pasar bebas ASEAN yang sudah digagas oleh Negara-Negara anggota ASEAN sejak 1997. MEA hadir dengan gagasan hendak menjadikan Indonesia sebagai basis pasar dan basis produksi dengan menggantungkan pada melimpahnya jumlah populasi, tenaga kerja produktif dan murah, serta sumber-sumber kekayaan alam yang melimpah.

Siapa yang harus bertanggungjawab ? Tentulah Rezim JOKOWI-JK yang saat ini berkuasa, dan telah membuktikan diri sebagai agen kaum modal yang membawa agenda-agenda liberalisasi dan privatisasi dibawah pondasi ekonomi politik kapitalisme di Indonesia.

Maka, dalam kesempatan memperingati Hari perempuan Internasional, 8 Maret 1910-8 Maret 2015, yaitu momentum untuk mengingat kembali perjuangan kaum buruh perempuan menuntut kesetaraan 8 jam kerja, gaji yang lebih layak, dan diberikan hak pilih dalam parlemen. Komite Persatuan Perjuangan IWD menggugat Rezim JOKOWI-JK yang menjadi budak Rezim Neoliberal, atas fakta-fakta di bawah ini :

Akibat Perdagangan dan Investasi. Tahun ini DPR telah menggodok revisi Undang-Undang 13 tahun 2003 yang menitikberatkan pada pasal yang mengatur tentang upah, sistem kerja kontrak-outsorching, dan hak mogok. Sistem penetapan upah akan diubah menjadi dua tahun sekali dan besaran kenaikannya bergantung pada besaran laba perusahaan. Kemudian aturan sistem kerja kontrak dan outsorching dibuat semakin longgar dengan dikeluarkannya Kepmen no 27 tahun 2014, yang memperbolehkan asosiasi pengusaha menentukan sendiri mana golongan yang termasuk produksi inti (core produksi) yang bisa di kontrak semau pengusaha. Lalu hak mogok yang selama ini menjadi hak kaum buruh akan diancam dengan represi karena dianggap menciptakan situasi tidak kondusif bagi kelancaran arus investasi.

Persaingan produksi perusahaan yang diserahkan pada mekanisme pasar akan mendorong perusahaan menghemat biaya produksi, memindahkan pabriknya ke daerah yang upahnya rendah, sehingga akan marak PHK massal dengan alasan efisiensi dan relokasi. Situasi ini akan mengakibatkan penutupan pabrik di kawasan industri –khususnya manufaktur-- dan akan berdampak pada kaum buruh yang mayoritas perempuan menjadi penganggur. Perusahaan dengan kelonggaran regulasi akan mem-PHK massal ribuan buruhnya, yang sebagian besar perempuan, tanpa memberikan gaji dan pesangon. Sebagai tenaga kerja outsourcing, buruh perempuan tidak akan mendapatkan tunjangan melahirkan, hak cuti haid, hak cuti hamil, tunjangan keguguran. Meskipun konvensu ILO no 183 dan UU Ketenagakerjaan no 13/2003 ada poin yang mengatur jaminan terhadap hak-hak maternitas buruh perempuan, pada praktiknya masih banyak perusahaan yang melakukan kekerasan terhadap buruh perempuan serta tidak memberikan hak-hak tunjangan dan cuti reproduksi.

Akibat Penghapusan Subsidi. Sebagai upaya liberalisasi sektor public untuk mendukung swastanisasi dan privatisasi, dilakukan pencabutan subsidi terhadap pelayanan transportasi, pendidikan, dan energi (BBM, listrik, gas). Mulai Februari 2015, rezim JOKOWI-JK telah menetapkan harga energi mengacu pada harga pasar Internasional. Artinya, subsidi BBM, listrik dan gas berangsur-angsur dicabut sepenuhnya. Pencabutan subsidi akan memberikan efek domino terhadap naiknya harga bahan pokok pangan, perumahan dan biaya transportasi. Kenaikan ini tentu diikuti oleh harga susu formula untuk bayi, harga pakaian, biaya pendidikan melonjak tinggi. Padahal keseluruhan elemen ini merupakan kebutuhan dasar rakyat demi kelangsungan hidup masyarakat yang selalu dan pada akhirnya diurus dan ditanggung oleh perempuan (ibu rumah tangga).

Akibat Privatisasi. Dalam rangka liberalisasi perdagangan, Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS), sekolah dan perguruan tinggi, PLN, perusahaan air, yakni sektor yang menyangkut pemenuhan kebutuhan dasar diswastanisasi.

Privatisasi sektor pendidikan yang mengakibatkan tingginya biaya pendidikan dan penunjang pendidikan. Sehingga kesempatan anak- anak untuk memperoleh pendidikan lebih tinggi dari pendidikan dasar dan menengah menjadi sangat kecil, terutama anak-anak perempuan. Pada tahun 2014, jumlah mahasiswa Indonesia baru mencapai 4,9 juta orang. Bila dihitung terhadap populasi penduduk berusia 19-24 tahun, maka angka partisipasi kasarnya baru 18,4 %. Sementara sebanyak 81 % generasi muda terpaksa menjadi buruh upah rendah dan penganggur. Mekanisme otonomisasi pendidikan tinggi telah berimplikasi buruk terhadap aksesibilitas pendidikan, biaya pendidikan akan naik secara drastis akibat universitas dikelola dengan metode yang mendekati swasta, Majelis Wali Amanat bertindak layaknya dewan komisaris dan Rektor layaknya direktur eksekutif dalam sebuah perusahaan. Pendidikan di Indonesia secara hakikat telah bergeser sebagai lembaga pencetak akumulasi profit (bagi yayasan dan pengusaha pendidikan) serta sebagai pencetak tenaga kerja murah. Hal ini diperparah dengan aturan dalam Permendikbud no. 49/2014 tentang kurikulum nasional perguruan tinggi yang membatasi masa kuliah mahasiswa menjadi 5 tahun.

Akibat devisa bebas. Terutama sejak berlakunya Instruksi Presiden No 5 tahun 2003, yang dikenal dengan White Paper, jutaan perempuan didorong untuk menjadi buruh migran. Namun disisi lain, rezim tidak memberikan perlindungan secara layak. Ratusan buruh migran meninggal tanpa keterangan yang jelas dan puluhan lainnya terancam hukuman mati di negara asing tanpa dukungan dan perlindungan yang signifikan dari pemerintah Indonesia. UU nomor 39/tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri tidak memberi sepenuhnya jaminan perlindungan bagi buruh migran. UU ini lebih banyak mengatur penempatan buruh migran. UU ini hanya dibuat untuk kepentingan perusahaan jasa penyalur tenaga kerja, daripada melindungi buruh migran yang sebagian besar adalah perempuan. Seluruhnya ini mencitakan peningkatan angka kemiskinan dari tahun ke tahun, yang berdampak pada tingginya angka gizi buruk pada anak-anak dan perempuan, tingginya angka korban perdagangan perempuan dan anak, serta timbulnya kasus-kasus bunuh diri yang dilakukan oleh anak-anak dan perempuan karena stress dan depresi. Beban hidup perempuan semakin bertambah. Tidak hanya terbebani mengurus kebutuhan rumah tangga, tetapi juga terbebani harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Komite Persatuan Perjuangan IWD, menuntut : 
1. Berikan Hak Demokrasi Ekonomi dan Politik yang Setara kepada Kaum Perempuan !
2. Berikan Jaminan Sosial Rumah Tangga tanpa Syarat (Teknologi rumah tangga murah, penitipan anak di tempat kerja, dll) !
3. Berikan Hak-Hak Maternitas Buruh Perempuan (cuti haid, cuti hamil, tunjangan melahirkan, tunjangan keguguran, dll) !
4. Berikan perlindungan buruh migrant dan tegakkan keadilan buruh migrant !
5. Berikan Upah yang setara dan pengurangan jam kerja bagi buruh perempuan yang bekerja shift malam !
 6. Hentikan Pelecehan dan Kekerasan terhadap Perempuan !

Solusi:
1. Tolak Liberalisasi dan privatisasi Ekonomi (MEA)
2. Nasionalisasi Aset-Aset Strategis di Bawah Kontrol Rakyat
3. Bangun Industri Nasional di Bawah Kontrol Klas Buruh
4. Wujudkan Kesehatan dan Pendidikan Gratis




Jakarta, 8 Maret 2015
Presidium KPP-IWD